JAKARTA – SOKSIMEDIA.COM
Jakarta 30-05-2023, sehubungan dengan isu yang terus berkembang tentang uji materil terhadap Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Media menghubungi Wasekjen Bidang Hukum & HAM SOKSI Ex Officio Sekretsris Eksekutif DEP LKBH SOKSI, Eka W. Dahlan, S.H. di sekretariat DEP LKBH SOKSI, Gedung Menara 165, Jl. TB. Simatupang, Jakarta Selatan.
Media meminta penjelasan tentang isu yang berkembang tentang uji materiil terhadap UU Pemilu, bagaimana menurut anda tentang uji materil di MK tsb ?
Eka W. Dahlan, S.H., M.H. menjawab bahwa sebenarnya proses hukum atas suatu permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi sebenarnya biasa saja, bahkan semua orang pada awalnya tidak sadar bahwa uji materil ini akhirnya akan rawan dapat menabrak konstitusi.
Media, seperti apa kerawanan yang dapat menabrak konstitusi Abang maksudkan ?
Eka W. Dahlan, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kita semua dengan mudah dapat memahami, lembaga negara yang memiliki kewenangan legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) UU No 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi “DPR mempunyai fungsi : a) Legislasi; b) Anggaran; dan c) Pengawasan, kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU N0 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ditentukan “fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas diketahui, satu-satunya lembaga negara yang berkompeten membentuk undang-undang adalah DPR, dalam proses legislasi tersebut, DPR RI membahasnya bersama dengan Presiden RI untuk mendapatkan persetujuan bersama, bahkan DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan yang diajukan Presiden agar tercipta suatu produk hukum yang bernama Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Dewan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga kita semua dapat memahami berdasarkan ketentuan Pasal 69, 70, dan 71 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 lembaga yang memiliki otoritas membentuk Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi, telah ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang diberi batasan yaitu kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation).
Batasan kewenangan MK tersebut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang sudah tiga kali dirubah, terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2020, 4 kewenangan MK tersebut adalah terbatas hanya untuk : 1). menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ; 2). memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 ; 3). memutus pembubaran partai politik ; 4). memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berdasarkan batasan kewenangan tersebut, sama sekali tidak ada satupun ketentuan yang memberikan kewenangan kepada MK untuk membuat Undang-Undang (Legislasi), karena itu akan sangat aneh bin ajaib apabila Mahkamah Konstitusi mau atau berani memutus sesuatu permohonan uji materi yang seharusnya merupakan yuridiksi lembaga legislatif.
Ternyata Mahkamah Konstitusi dalam melakukan proses pengujian undang-undang menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pada pasal 73 ayat (3) berbunyi ” dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)”.
Istilah ‘amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)’ inilah yang menjadi titik permasalahan sehingga menjadi kontroversi dan kegaduhan politik, karena Mahkamah Konstitusi sendiri telah menambahkan kewenangannya sendiri sehingga bisa membuat suatu peraturan yang mestinya menjadi yuridiksi lembaga legislatif.
Terhadap Pasal 73 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tersebut saat ini, sedang diajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Agung dengan register Nomor : 18 P/HUM/2023 tanggal 09 Mei 2023 oleh salah seorang Bakal Calon Legislatif, sehingga selama Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023 Pasal 73 ayat (3) masih dalam status quo, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus perkara sepanjang menggunakan dasar ayat (3) Pasal 73 dari PMK tersebut.
Dari kedua aturan tersebut sangat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan legislasi, sebab kewenangan hal tersebut merupakan yurisdiksi dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Apabila harus dibuatkan peraturan yang baru maka cukup memerintahkan kepada badan legislatif untuk membentuk peraturan baru tersebut, sehingga MK tidak perlu off side sehingga yang akan mengganggu yuridiksi masing-masing lembaga yang telah diatur sesuai payung hukum masing-masing.
Menyimak isu yang berkembang tentang uji materil terhadap UU Pemilu khususnya tentang sistem “proporsional terbuka” yang konon akan diputus digantikan dengan “proporsional tertutup”, maka patut dipertanyakan dengan _sejak kapan MK berubah fungsi menjadi lembaga Legislatif ?, akhirnya Wasekjen Bidang Hukum dan HAM SOKSI EF Officio Sekretaris Eksekutif DEP LKBH SOKSI tersebut menyampaikan, wait and see tomorrow, apakah MK akan menjadi lembaga legislatif atau tetap pada koridor sebagai lembaga yudikatif. (RED)
BID.KOMINFO_SOKSI