Penulis : Muhammad Iqbal Salim Ginting S.H. Wakabid Adminitrasi Yudisial Review LKBH SOKSI
Jakarta | SOKSIMEDIA.COM
Persoalan akhir – akhir ini menjadi bahan pembicaraan hangat tentang persoalan Judicial Review atas undang – undang Nomor 7 tahun 2017, Tentang pemilu ada beberapa alasan kenapa Mahkamah Konstitusi harus menolak gugatan tersebut, sebagai Guardian Of Constitution. Sebab , sistem pemilu tertutup akan membuat masyarakat hanya mencoblos lambang partai peserta pemilu saja.
Tentang adanya judicial review dari para pihak atas Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya tentang sistem pemilu proporsional daftar terbuka agar menjadi sistem pemilu proporsional tertutup di mana hanya mencoblos lambang partai politik peserta pemilu saja. Sistem pemilu tertutup hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja ini di khawatirkan akan merusak sistem demokrasi karena melanggar prinsip pemilu yang demokratis yang di tandai dengan One Person, One Vote, One Value.
Suara rakyat adalah suara tuhan (Vox Populi, Vox Dei) tidak akan terwujud dalam sistem pemilu tertutup.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan nya MK Nomor 22-33/PUU-IV/2008 telah menetapkan sistem proposional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Hal itu mengabulkan gugatan atas pasal 214 (a, b, c, d) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan Anggota DPR, DPD, Dan DPRD, yang memilik proposional terbuka.
Untuk itu Mahkamah Konstitusi yang pernah mengabulkan gugatan untuk malksanakan penerapan anggota legislatif berdasarkan sistem pemilu tertutup terbatas akan menyebabkan terjadinya pelanggaran dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang di jamin konstitusi.
Dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, memberlakukan sistem pemilu tertutup terbatas berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih pilhannya.
Kemudian, sistem tertutup telah mangapaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih. Hal ini merupakan satu kutipan amar putusan MK Nomor 22-23 PUU-IV/2008. Jika yang menjadi dasar penggunggat adalah pasal 22 E ayat 3 UUD RI 1945 bahwa peserta pemilu utnuk memilih anggota DPR RI dan anggota DPRD adalah partai politik. Sementara itu, di pasal 22 E ayat 6 sudah jelas menayatakan bahwasanya ketentuan lebih kanjut tentang pemilu diatur dengan Undang – Undang.
Keberdadaan sistem pemilu proposional terbuka sudah ada di Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017. Telah mengatur tentang sistem pemilu seharusnya masuk ke ranah Open legal Policy. Bagi masyarakat pemilih sistem ini dapat diterima dengan baik karena sudah terbiasa dengan pemilihan langsung, pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, dan pemilihan legislatif.
Sudah sebanyak tiga kali pemilu memakai suara terbanyak rasanya sudah cukup bagi KPU, Bawaslu dan DKPP. Untuk saat ini lebih tangguh, kuat dan andal karena memiliki pengalaman empiris, agar dapat menyelenggarakan pemilu lebih baik lagi.
Secara empiris, siapa yang dekat dengan pimpinan akan mendapatkan nomor urut kecil. Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara professional dan transparan dan objektif. Namun unsur selaku Policy Maker dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur obyekvitas. (*)
BID.KOMINFO_SOKSI