Gambar Istimewa : Ketum Depinas SOKSI Ir. Ali Wongso Sinaga
JAKARTA, SOKSIMEDIA — Kasus Bandara IMIP Morowali dengan panjang runway sekitar 2.000 meter yang dapat didarati pesawat besar dari luar negeri,telah membuka refleksi kenegaraan kita. Menhan Jenderal TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin yang mengangkat diskursus nasional ini layak kita apresiasi tinggi karena telah mengingatkan bahwa fungsi-fungsi negara, terutama pengawasan terhadap arus orang dan barang di bandara itu, tidak boleh dijalankan tanpa kehadiran negara. Beliau menegaskan bahwa sekalipun fasilitas dibangun swasta, seluruh aktivitas strategis tetap wajib berada dalam kendali negara. Tidak boleh ada “negara dalam negara”. Peringatan ini menyadarkan publik bahwa persoalan Bandara IMIP bukan sekadar administratif, tetapi menyangkut kedaulatan negara.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh temuan Menkeu Purbaya Sadewa bahwa Bea Cukai tidak pernah hadir dalam pengawasan keluar-masuk barang dan orang di fasilitas bandara IMIP.
Sementara Menteri Imigrasi belum ada pernyataannya. Sebaliknya, komentar Wamenhub Suntana justru mengundang pertanyaan tentang konsistensi antar-lembaga. Kejanggalan semakin besar ketika Kemenhub konon memberikan izin internasional bandara IMIP pada Agustus 2025, lalu langsung mencabutnya pada Oktober 2025, dua bulan kemudian—ini merupakan anomali yang tidak dapat dipandang normal. Karena itu, investigasi menyeluruh terhadap operasi bandara IMIP dan rantai bisnisnya selama ini menjadi mutlak dilakukan.
Fenomena “Negara dalam Negara” : IMIP Bukan Kasus Tunggal
Bandara IMIP adalah salah satu contoh nyata dari fenomena “negara dalam negara” ketika fungsi kenegaraan dijalankan oleh entitas non-negara tanpa kontrol efektif oleh otoritas negara. Fenomena ini ibarat puncak gunung es : IMIP yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari masalah struktural sebenarnya – yang terjadi jauh lebih besar.
Contoh lain yang menunjukkan pola serupa adalah yang seringkali dijuluki diksi “mafia”, antara lain : Mafia migas dan subsidi energi, termasuk “permainan” kuota impor dan penyimpangan BBM ; Mafia fiskal dan moneter seperti under/over-invoicing, transfer pricing, penggelapan devisa, dan rekayasa aliran dana ; Mafia Ekspor illegal tidak tercatat oleh negara seperti ekspor bahan mentah dan bahan setengah jadi hasil tambang ; Mafia anggaran, mulai dari permainan proyek hingga bancakan APBN/APBD ; Mafia tanah dan “pagar laut reklamasi” melalui penguasaan ruang publik, tumpang-tindih sertifikat, dan pembatasan akses laut ; Mafia impor pangan ; Mafia narkoba dan judi online, serta TPPO yang menciptakan ekonomi bawah tanah (underground economy) yang merugikan rakyat dan negara bernilai ratusan hingga ribuan triliun rupiah di luar pengawasan negara.
Benang merah dari seluruh fenomena tersebut adalah ketidakpastian hukum dan pelanggaran hukum yang dibiarkan berkembang, lemahnya integritas pejabat publik, serta penetrasi kepentingan dalam birokrasi dan politik. Inilah ekosistem yang memelihara bertumbuhnya apa yang disebut : “kleptokrasi.”
Kleptokrasi : Akar Kerusakan Sistemik
Kleptokrasi adalah kondisi ketika jabatan publik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif banyak diisi oleh para aktor oknum “pencuri” yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan jejaringnya.
Ia adalah sistem kekuasaan di mana para oknum pejabat publik kleptokrat atau bersama jaringan politik-bisnis menggunakan kewenangannya untuk mengalihkan aset negara menjadi keuntungan pribadi ; birokrasi dibajak untuk melindungi praktik tersebut; regulasi dimanipulasi untuk membuka ruang keuntungan; aparat penegak hukum dilemahkan atau dipengaruhi; jaringan informal menguasai sumber daya strategis, menciptakan “negara dalam negara.”
Akar kleptokrasi dapat bertahan dan merusak secara sistemik karena tiga faktor utama,yaitu :
Pertama, Penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kepastian hukum yang dirusak dan ketidakpastian hukum itu mendorong praktik ilegal menjadi seolah-olah normal.
Kedua, Kejahatan ekonomi bawah tanah (underground economy) berskala besar dan mampu mengintervensi kebijakan negara yang mengeringkan penerimaan publik dan memperkuat oligarki.
Ketiga, Ketiadaan instrumen hukum yang efektif untuk merampas aset korupsi atau kejahatan. Selama ini negara hanya menyasar orang, bukan aset dan jaringannya. Pelaku dapat disidik, tetapi asetnya tetap aman. Jaringan kejahatannya tetap hidup meskipun individu ditangkap. Proses hukum dan pengadilan lambat, aset dipindahkan atau disembunyikan. Faktanya pendekatan tunggal (penindakan pidana) selalu gagal memutus akar kleptokrasi.
Karena itu kedepan negara tidak boleh berlama-lama dengan pendekatan tunggal semata yang hanya berorientasi menghukum pelaku, tetapi seharusnya juga menarik atau merampas kembali aset yang mereka curi dan kuasai serta menghancurkan jaringan kejahatannya.
Gagasan besar Presiden Prabowo Subianto sebagaimana di dalam Buku Paradoks Indonesia (2017), menegaskan bahwa negara hanya akan berdaulat penuh jika memiliki hukum yang kuat dan mampu menegakkan hukum dengan tegas selain integritas pejabat publik lembaga yang kuat untuk memutus akar kleptokrasi dengan struktur ekonomi gelap itu, dan mengembalikan kendali atas sumber daya strategis.
Memutus akar kleptokrasi itu berarti negara tak bisa tidak, harus memiliki hukum yang kuat dengan tambahan UU Perampasan Aset sebagai prasyarat untuk menghilangkan praktek negara dalam negara beserta mengakhiri paradoks tersebut seiring dengan kepastian integritas para pejabat publik yang kuat untuk penguatan kredibilitas pemerintah guna memastikan konsistensi pelaksanaannya
Perppu Perampasan Aset : Instrumen Pemutus Akar Kleptokrasi
Pemerintah sudah sangat lama mengajukan RUU Perampasan Aset kepada DPR , namun akibat tarik-ulur kepentingan politik dan lain-lain hal, RUU ini masih belum berhasil menjadi UU. Padahal negara sangat membutuhkan instrumen ini untuk mengejar aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya yang mungkin telah dipindah-tangankan, disembunyikan, atau ditempatkan di luar negeri.
Kini DPR telah menjadwalkan pembahasannya tahun 2026 mendatang, namun ada juga warning berupa pepatah orang bijak “keledai tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali.” Artinya diperlukan refleksi rasional kritis dan komprehensif terhadap pengalaman yang ada selama ini, agar supaya pengalaman yang sama tak terulang kembali.
Karena itu jika melalui Prolegnas DPR , perlu antisipasi rasional : selain akan masih relatif lama baru akan selesai, bukan tidak mungkin juga akibat tarik menarik kepentingan politik.membuat tak selesai ataupun jika selesai kelak tetapi substansinya melemah sehingga tidak efektif memutus akar kleptokrasi sesuai harapan rakyat dan tujuan negara.
Seiring dengan antisipasi itu, menyadari tingginya angka akumulasi korupsi dan trend kejahatan underground economy serta adanya ancaman terhadap kedaulatan “negara dalam negara” seperti pada kasus IMIP ini dan banyak lainnya maka pengesahan UU Perampasan Aset ini sangat mendesak bagi kepentingan rakyat dan negara.
Bahwa urgensi yang amat tinggi dan momentumnya sudah sampai pada “kegentingan memaksa” tidak akan bisa membantahnya oleh siapapun yang memiliki komitmen pada kedaulatan negara, dan kepentingan rakyat. Berdasarkan itu, Presiden sewajarnya bahkan sudah seyogianya menggunakan kewenangannya yang diamanatkan Pasal 22 UUD 1945 untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) dalam hal ini, yaitu Perppu Perampasan Aset sebagai solusi konstitusional untuk melakukan non-conviction based asset forfeiture, memulihkan kerugian negara secara cepat, dan menelusuri aset lintas yurisdiksi, demi mengembalikan harta rakyat.
Terhadap kekhawatiran pihak tertentu terkait potensi penyalahgunaan UU Perampasan Aset, adalah tak rasional sebab dapat diantisipasi dengan audit independen, proses peradilan cepat dan transparan kepada publik, serta publikasi hasil pemulihan aset sehingga akuntabilitas tetap terjaga. Tentang tudingan pelanggaran HAM, itu tidak benar sebab justru pelaku korupsi atau kejahatan itulah yang sudah melanggar HAM warga masyarakat. Selain kejahatan luar biasa, korupsi adalah bagian dari tindakan pelanggaran HAM
Reshuffle Kabinet : Prasyarat Moral Memutus Kleptokrasi
Perppu Perampasan Aset yang kelak menjadi UU Perampasan Aset pasca persetujuan DPR , praktis tidak akan efektif jika dijalankan oleh para pejabat tak memiliki integritas yang kuat dan kredibel dimata rakyat. Karena itu, lokomotif untuk awal memastikan integritas dan kredibilitas itu ada pada reshuffle kabinet sebagai langkah audit strategis untuk kristalisasi konsolidasi jajaran pembantu Presiden sekaligus moral untuk kepastian implementasi Perppu untuk memutus akar kleptokrasi berjalan sesuai tujuan.
Sosok-sosok yang track record pribadi siapapun yang cenderung melanggar kepastian hukum, berpotensi kleptokrat dan kurang kredibel dimata rakyat adalah tidak mungkin sinergis secara optimal untuk menguatkan integritas dan kredibilitas pemerintah memutus akar kleptokrasi dibawah kepemimpinan Presiden. Sosok -sosok demikian sudah saatnya dirumahkan tanpa diskriminasi apapun sebabnya atau latar belakang politik dan sosialnya.
Rakyat menaruh kepercayaan dan penuh harapan kepada Presiden akan menata kembali Kabinet Merah Putih sehingga hanya diisi oleh mereka yang dipercaya berintegritas, jujur, berani dan profesional seperti sosok Menhan Sjafrie dan Menkeu Purbaya yang mengungkap absennya negara di Bandara IMIP perlu ditempatkan dalam posisi -posisi strategis agar kepemimpinan Presiden Prabowo berhasil memutus akar kleptokrasi guna menghentikan “negara dalam negara” sekaligus menguatkan kredibilitas pemerintah dan menegakkan kembali kewibawaan negara merupakan prestasi gemilang luar biasa Presiden Prabowo yang akan tercatat oleh sejarah perjalanan perjuangan bangsa ini kedepan.
Penutup : Saatnya Negara Pulih dan Berdaulat
Kasus Bandara IMIP Morowali adalah alarm keras bahwa negara tidak boleh absen dari ruang-ruang strategis Jika akar kleptokrasi tidak diputus segera, kedaulatan negara akan terus tergerus. Saat ini momentum politik, urgensi publik, dan keberanian moral telah bertemu dan inilah saatnya peluang emas negara kembali hadir sepenuhnya.
Rakyat yang komit pada kemajuan bangsa negara, menaruh kepercayaan besar dan mendukung penuh Presiden Prabowo menerbitkan segera Perppu Perampasan Aset dan melakukan Reshuffle Kabinet, yang merupakan dua langkah strategis yang saling menguatkan untuk menghentikan “negara dalam negara”, menegakkan kembali Pasal 33 UUD 1945, dan menegakkan kewibawaan negara serta mengakhiri “Paradoks Indonesia” sesuai visi besar Presiden Prabowo Subianto.
Penulis : Ir.Ali Wongso Sinaga adalah Ketua Umum SOKSI 2017-2022 & 2022-2027 : Anggota DPR RI 2009-2014 ; Ketua DPP Partai Golkar 2004-2009 & 2009 -2014 & 2014 -2017 : Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar 2019-2024.
Bid Kominfo SOKSI
