Kembalikan Penerimaan Negara ke Pasal 33 UUD 1945 Demi Keadilan Sosia
JAKARTA – SOKSIMEDIA.COM | Tahun 2025 menandai 80 tahun Indonesia merdeka. Momentum ini seharusnya menjadi ajang refleksi jujur, bukan sekadar seremoni. Salah satu persoalan strategis yang perlu disorot adalah sumber penerimaan negara. Sudah terlalu lama porsi penerimaan negara bertumpu pada pajak rakyat, mulai dari Pajak Penghasilan, PPN, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang belakangan tarifnya dinaikkan di banyak daerah.
Kebijakan ini kerap menambah beban masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, sementara kekayaan alam dan potensi ekonomi strategis bangsa justru belum dikelola optimal untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Presiden Prabowo Subianto, dalam bukunya Paradoks Indonesia (2017), sudah mengingatkan delapan tahun lalu: Indonesia kaya sumber daya alam, namun rakyatnya belum merasakan sepenuhnya hasil kekayaan itu. Paradoks ini terjadi karena struktur ekonomi yang timpang, kebocoran fiskal, dan pengelolaan sumber daya yang lebih menguntungkan segelintir pihak dibanding kepentingan umum.
Sayangnya, sejak kemerdekaan hingga kini, pola penerimaan negara lebih condong mengandalkan pungutan langsung dari rakyat ketimbang mengoptimalkan penerimaan berbasis sumber daya alam, BUMN strategis, dan kemitraan negara-swasta yang adil.
Pasal 33 UUD 1945: Amanat yang Terlupakan
Pasal 33 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Artinya, desain penerimaan negara seharusnya berpijak pada dua pilar utama:
1. Pengelolaan sumber daya alam strategis (tambang, migas, mineral, kehutanan, perikanan) melalui model bagi hasil atau kepemilikan saham negara (state equity participation).
2. Optimalisasi BUMN strategis agar memberikan dividen signifikan kepada kas negara, bukan sekadar mengejar laba perusahaan.
Negara-negara seperti Norwegia, Uni Emirat Arab, hingga Botswana menunjukkan bahwa penerimaan berbasis pengelolaan SDA bisa membiayai pembangunan tanpa membebani pajak rakyat secara berlebihan.
Krisis Fiskal Terselubung
Kenaikan tarif PBB dan perluasan basis pajak di Indonesia beberapa tahun terakhir dapat dibaca sebagai tanda “krisis fiskal terselubung”. Bukan berarti negara bangkrut, tetapi struktur penerimaan terlalu rapuh karena sebagian besar bersumber dari pajak dan bea cukai. Saat ekonomi melambat, penerimaan otomatis anjlok. Padahal, penerimaan dari SDA atau dividen BUMN lebih tahan terhadap siklus ekonomi selama dikelola transparan dan profesional.
Ironisnya, pengelolaan sektor tambang dan migas masih banyak didominasi skema IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang memberikan ruang luas bagi swasta tanpa porsi penerimaan negara yang optimal. Model ini cenderung kalah dibanding pola production sharing atau state equity yang lazim dipakai negara lain.
Peta Jalan Reformasi Penerimaan Negara
Jika ingin menjawab Paradoks Indonesia dan menyiapkan fondasi fiskal menuju Indonesia Emas 2045, maka perlu peta jalan reformasi:
1. Audit SDA dan BUMN strategis untuk memetakan potensi penerimaan yang hilang akibat kebocoran, kontrak tidak adil, atau kinerja rendah.
2. Reformasi skema tambang dan migas dari IUP murni menjadi kemitraan bagi hasil (profit sharing) dengan porsi minimal 50% untuk negara, sesuai amanat Pasal 33.
3. Optimalisasi dividen BUMN dengan target kontribusi minimal 5–7% dari total penerimaan negara, melalui perbaikan tata kelola dan efisiensi.
4. Transparansi penerimaan SDA dengan mengadopsi standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang melibatkan publik dalam pengawasan.
5. Pengurangan ketergantungan pada pajak rakyat secara bertahap, sambil memperluas basis pajak pada sektor yang selama ini under-taxed seperti ekonomi digital lintas negara.
Keadilan Sosial sebagai Ukuran Keadilan sosial bukan sekadar jargon politik, tetapi tolok ukur keberhasilan sistem fiskal. Ketika beban pajak rakyat terlalu berat sementara kekayaan alam diekspor mentah dan nilainya dinikmati pihak luar atau segelintir elit, maka Pasal 33 dan sila kelima Pancasila tidak dijalankan.
Mengembalikan penerimaan negara ke basis Pasal 33 bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal mengembalikan marwah kedaulatan.
Tantangannya Tentu Besar.
Perlu keberanian politik untuk merombak regulasi yang selama ini menguntungkan kelompok tertentu. Perlu integritas untuk memastikan penerimaan dari SDA dan BUMN tidak bocor di tengah jalan. Dan perlu manajemen modern agar negara tidak kalah bersaing dengan korporasi global.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini punya pilihan: terus mengandalkan pajak rakyat yang membebani, atau kembali ke akar konstitusi dengan membangun penerimaan negara yang adil, berdaulat, dan berkelanjutan. Pasal 33 sudah memberi arah. Kini, yang dibutuhkan adalah kemauan untuk menempuh jalan itu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
(RED/BID.KOMINFOSOKSI)